Jangan awali hari dengan penyesalan hari kemarin, karena akan menggangu hebatnya hari ini, dan akan merusak indahnya hari esok.
Wednesday, 22 February 2012
Mercusuar Keikhlasan
Kehidupan ini seringkali menghadirkan ironi dan paradoks. Banyak pemimpin yang tidak memiliki jiwa kepemimpinan akan tetapi ingin tetap memimpin. Tak pandai mengarahkan pasukan. Seringkali menuntut keadaan ideal akan tetapi ia melupakan washilah-washilah (perangkat-perangkat) keberhasilan dan kemenangan. Ia meneriakkan yel-yel kejayaan, akan tetapi sebatas simbolisme. Ingin diakui ketokohannya, padahal kerja-kerjanya hanyalah menyulap kelelahan dan jerih payah prajuritnya menjadi laporan yang dramatis dan sangat menyentuh, hingga publik berdecak kagum karenanya. Seringkali ia sibuk mencela kelemahan dan keterbatasan prajuritnya, akan tetapi ia sama sekali tak punya seni untuk mengembangkan potensi mereka (faaqidu fann at tanmiyah wa at athtwir). Lantas bagaimana ia bisa disebut pemimpin?
Syahdan, pada suatu pertempuran Khalid bin Walid menarik mundur pasukan muslimin hingga ke jantung Madinah. Semua orang menuduh Khalid telah lari dari medan tempur, pengecut dan tak punya harga diri. Maka serta merta anak-anak, para budak dan orang-orang jahil melempari dirinya dan pasukannya dengan batu. Menghardik dan mencela ‘kepengecutannya’. Akan tetapi justru Rasulullah menggelarinya dengan saifullah al maslul (pedang Allah yang selalu terhunus).
Mungkin sebagian orang merasa aneh. Mengapa pula Rasul saw memberikan apresiasi kepada seorang ‘pecundang’ dengan sebuah gelar kehormatan tersebut? Bagaimana logikanya? Seorang yang kalah, terpukul mundur malah dihargai sedemikian hingga? Akan tetapi pena sejarah kemudian mencatat, Khalid adalah pahlawan yang membuktikan gelar kehormatan itu. Seorang ksatria yang hampir tidak pernah menyarungkan pedangnya hingga musuh bertekuk lutut. Pejuang yang selalu mendidih darahnya ketika melihat Islam dihinakan. Seorang pemimpin yang piawai mengatur rapi pasukannya. Bahkan ia adalah seorang prajurit yang hampir sempurna keikhlasannya.
Dalam penggalan kisah ini Rasulullah saw juga hendak mengajarkan kepada kita makna menghargai ikhtiar orang lain, terutama orang yang telah kita beri tugas dan amanah. Tentu balasan yang tepat untuk orang yang telah lelah bekerja bukanlah hinaan, celaan atau penistaan. Akan tetapi balasan yang mungkin agak sepadan adalah pengakuan dan penghargaan, walaupun hanya sebatas gelar yang disematkan atau tepukan tangan yang tulus dan meriah. Itu kita anggap sudah cukup mewakili.
Rasulullah juga mengajarkan kepada kita bahwa seorang pemimpin harus selalu memiliki seni untuk menghargai dan menyanjung (fann at tawqir). Lebih dari sekedar itu, beliau juga telah mengajarkan kepada kita tentang waktu yang sangat tepat untuk memberikan pengakuan dan penghargaan. Ya, ketika hampir semua orang menyalahkan Khalid. Ketika semua orang tidak menghargai jerih payah dan kelelahannya. Ketika hampir semua orang mencela ‘kelemahan’ dirinya. Disaat itulah, Rasulullah datang untuk memberikan dukungan moril. Seni ini yang seringkali melejitkan potensi atau menggalinya ketika ia masih terpendam. Inilah mungkin jawaban dari keberhasilan demi keberhasilan Khalid setelah itu.
Apakah lantas ini menjadi pembenaran, jika ada seorang bawahan yang mogok beramal dengan alasan pemimpinnya adalah orang yang miskin penghargaan? Tentu sama sekali bukan itu maksudnya.
Kita masih ingin bersama Khalid bin Walid. Kita masih ingin mendaki mercusuar keikhlasan tersebut. Manusia biasa yang hampir sempurna keikhlasannya. Khalid bin Walid sama sekali tidak pernah menyangka, jika Umar bin Khattab tiba-tiba ‘memecat’ dirinya dari jabatannya sebagai panglima perang, padahal perang tengah berkecamuk. Kondisi masih sangat tidak menentu dan kritis. Abu Ubaidah ibnu Al Jarrah pun sangat terkejut dengan pengalihan kepemimpinan yang begitu mendadak. Ia bahkan tidak mengerti alasan Umar. Sama sekali tidak ada persiapan. Benar-benar sangat serta-merta dan tiba-tiba.
Dari Abu Ubaidah kita belajar tentang bagaimana mengelola hati agar tidak ujub dan takabur dengan kenaikan pangkat yang tiba-tiba? Dari Khalid bin Walid kita belajar tentang bagaimana menjaga keikhlasan? Tidak ada yang berubah dari diri Khalid. Ia tetap berperang dengan sangat maksimal. Ia tetap terdepan. Karena ia sadar ia tetaplah prajurit, walaupun sekarang bukan lagi panglima, bukan lagi pemimpin. Pedangnya tetaplah pedang. Musuhnya tetaplah musuh. Khalifahnya tetaplah Umar. Tugasnya tetaplah berjihad. Dan yang pasti tuhannya tetaplah Allah. Dan janjiNya tetaplah syurga. Tak ada yang berubah. Maka ketika sekelompok ‘pengikut setia’nya menghasut dirinya untuk memberontak Umar, dengan sangat tegas Khalid menolak ajakan bughat tersebut. Ia berkata: “ Demi Allah, aku berperang bukan untuk Umar, akan tetapi untuk Allah swt”. Hilanglah harapan para penghasut. Khalid benar-benar kokoh. Bagai mercusuar. Tegak berdiri diujung pantai. Memberi petunjuk arah hingga para pelaut bisa kembali merapat ke daratan. Tak bergeser walau tidak diperhatikan.
Ketika Engkau telah bekerja sekuat tenaga
Menjalani semua amanah dengan sepenuh hati
Engkau telah merasa mengeluarkan segenap daya
Peluh dan pikiran telah terkuras kering
Tapi…
Orang-orang disekitarmu acuh, tak peduli
Jangankan penghargaan , pengakuan pun tiada
Bahkan pemimpinmu, orang yang Engkau hormati
seringkali lalai dan abai
Tak pandai memberi motivasi,
Tak punya seni menghargai
Engkau ingin memberontak, berteriak
Engkau ingin membelot dan berlari
Hingga ketika kemarahan itu memenuhi relung hati
Ketika saat itu tiba
Ingatkanlah dirimu
Jangan turuti kehendak nafsumu
Bukan untuk itu Engkau melakukan itu semua
Itu telalu remeh dan kecil bagimu
Karena janjiNya jauh lebih engkau harapkan
Jika Engkau masih melihat manusia
Lantas dimanakah Tuhanmu?
(khadimul_ummah@abu_fateeh)
Labels:
renungan jiwa
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment