Ulama putih adalah cahaya yang bisa menerangi sekitarnya. Ulama hitam hanya berburu kesenangan dunia.
Sultan Al-Malik Al-Zahir yang berkuasa di pertengahan abad VII Hijriyah meminta seluruh ulama Syam (Suriah, Libanon, Yordania, dan Palestina) untuk datang membahas pembiayaan perang melawan Pasukan Tartar yang telah menghancurkan Bagdad.
Al-Zahir meminta para ulama itu membuat fatwa yang membolehkan negara mengambil harta kekayaan rakyat untuk pembiayaan perang yang tidak sedikit. Para ulama itu dengan cepat berhasil memutuskan, boleh. Fatwa pun ditulis dan ditandatangani para ulama Syam.
Tapi, Al-Zahir tidak puas, karena dalam himpunan ulama besar itu tak terlihat Imam Abu Zakaria Muhyiddin Yahya Ibn Sharaf Al-Nawawi yang lahir di Nawa, dekat kota Damaskus, Suriah, pada tahun 631/1234. Imam Nawawi, demikian ia dikenal, tak datang sehingga meragukan keterwakilan ulama.
”Adakah ulama lain yang tidak hadir di sini?” tanya Sultan, memancing.
”Masih ada, Muhyiddin al-Nawawi yang tidak terlihat,” jawab seseorang ulama.
Sultan kemudian mengutus bawahannya untuk mengundang Imam Nawawi ke istananya di Damaskus. Di balairung kerajaan, Sultan kemudian berterus terang tentang fatwa yang telah dikeluarkan sejumlah ulama itu kepada Imam Nawawi yang menyetujui pembiayaan perang dengan harta rakyat. Sultan juga meminta dukungan atas fatwa itu agar lebih kuat dengan diikutsetujui Imam Nawawi yang masih berusia 40 tahunan itu.
Tapi, Sultan mendapatkan tanggapan yang tak diduganya. ”Mohon maaf jika kami menolaknya,” kata Imam Nawawi di hadapan Sultan. ”Mengapa?” tanya Sultan yang telah bersusah payah menyambut Imam Nawawi di tangga bawah istananya itu.
”Maafkan saya jika menjelaskan kurang menyenangkan. Bukankah Tuan Sultan dulunya seorang tawanan yang tak memiliki apa-apa. Namun, kemudian Allah menganugerahkan anugerah terbaiknya untuk Tuanku Sultan dengan harta melimpah dan kekuasaan besar sebagai sultan. Maafkan saya jika saya menjelaskan kurang berkenan di hati Tuaku Sultan. Saya telah mendengar bahwa Tuanku Sultan memiliki seribu orang hamba sahaya yang setiap orang hamba sahaya mempunyai beberapa kantong emas. Jika saja dua ratus orang hamba sahaya wanita milik Tuanku Sultan saja yang masing-masing mempunyai perhiasan yang bernilai itu Tuanku Sultan mengambilnya dan menyerahkan semua untuk keperluan perang, maka saya bersedia memberi fatwa untuk membenarkan Tuanku Sultan mengambil harta rakyat.”
Sultan terdiam dan menatap tanpa ujung. Inti jawaban Imam Nawawi, lakukan dulu pembiayaan dari dana negara dan lingkungan istana sebelum menguras harta rakyat. Bukan harta rakyat dahulu yang dikuras dan sama sekali tidak menyentuh harta milik istana dan negara. Kritik ini menyakitkan Sultan.
Al-Malik Al-Zahir murka dan kemudian mengusir Imam Nawawi agar keluar dari wilayah Damaskus. Imam Nawawi dengan tenang menerima titah Sultan ini karena ia juga memiliki sikap dan wajib patuh kepada Ulil Amri. Maka, ia kemdian memindahkan ’pesantren’nya ke Nawa, di luar Damaskus, tempat ia dilahirkan.
Namun, jawaban itu juga menyadarkan sejumlah ulama lainnya yang telah sepakat menandatangani fatwa bersama itu. Para ulama itu datang berbondong-bondong ke Nawa meminta Nawawi kembali ke Damaskus untuk memandu fatwa. Tapi, Imam Nawawi menolaknya. ”Mohon maaf, saya tidak akan kembali ke Damaskus selama Baginda Sultan Al-Zahir masih berkuasa karena pengusiran ini adalah juga titah seorang Sultan yang harus saya patuhi.”
Sepenggal kisah Imam Nawawi ini menjadi episoda ’penentangan’ atau kritik ulama atas kekuasaan. Kekuasaan harus diberi tahu bahwa ia bisa salah meski ia memiliki ortoritas untuk dipatuhi. Ulama memiliki posisi mengingatkan. Bukan setiap keinginan dan kehendak penguasa harus dibenarkan, didukung, dan diamini.
Suara Kenabian
Tentu tak hanya Imam Nawawi yang harus menyuarakan hatinya terhadap kekuasaan dan kemudian dikucilkan. Sejumlah ulama besar juga banyak yang dipenjarakan karena menolak permintaan penguasa. Imam Hanafi, Ibnu Taymiyah, dan lain sebagainya.
Imam Nawawi tentu berpandangan dan bersikap seperti itu setelah ia menelusuri karya-karya atau sejumlah hadis Rasulullah. Apalagi, ia sangat mengagumi Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali, ulama yang hidup dua abad sebelumnya, yang panjang lebar menjelaskan posisi ulama dan negara. Menurut Dr. Badawi Thabbanah, guru besar filsafat Universitas Kairo, Mesir, Ihya Ulumiddin ditulis Imam Gazali setelah ia banyak melakukan perjalanan menyusuri desa-desa di Syam meninggalkan Bagdad yang kemudian mengubah drastis dirinya dari ilmuwan menjadi ulama.
Dalam bab enam Ihya, Imam Ghazali menyebut bencana ilmu dan tanda-tanda ulama akhirat dan ulama bobrok (suk). ”Ulama suk adalah ulama yang memanfaatkan ilmunya untuk kenikmatana dunia dan meraih pangkat dan jabatan dunia,” tulis ulama dan Rektor Univesitas Nidzamiyah Baghdag, Irak kelahiran tahun 450 Hijriyah ini.
Ia mengutip sabda Rasulullah SAW yang menyatakan” Sesungguh paling pedih siksaaan pada hari kiamat nanti adalah siksaan seorang berilmu yang sama sekali tak mengamalkan ilmunya itu.” Tak mengamalkan bisa memanipulasi ilmu untuk tujuan tertentu atau memanfaatkan ilmunya untuk tujuan dunia. Rasulullah bersabda: ”Kelak di akhir zaman akan banyak muncul hamba-hamba bodoh yang abid dan ulama yang fasik.”
Ibnu Abbas meriuwayatkan hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah bersabda: ”Ulama umat ini ada dua. Seseorang yang diberi ilmu oleh Allah yang kemudian diajarkan kepada orang lain yang dia sama sekali tidak rakus dan tidak berharap imlaban, maka burung-burung, ikan, binatang di bumi, serta para malaikat pencatat kebaikan akan berdoa untuknya. Dia akan dihadapkan kepada Allah pada hari kiamat dengan kemuliaan hingga menyertai para rasul. Satu lagi seorang yang diberi ilmu oleh Allah dan ia kikir mengajarkan ilmunya kepada hamba Allah, rakus dan memberi tarip pada ilmunya, maka ia nanti pada hari kiamat akan dilecut dengan cemeti neraka. Serta, berkumandang suara: inilah seorang yang telah diberi ilmu Allah namun pelit menularkannya, rakus serta memberi tarip pada ilmunya. Dia terus diuazab hingga seluruh manusia selesai dihisab.”
Pada zaman Nabi Musa dahulu ada seorang hamba yang mengabdi kepada Nabi Musa. Namun, ia selalu menjual kata-kata Nabi Musa di luar untuk kepentingan dirinya. Nabi Musa sudah lama tak melihatnya. Tiba-tiba ada beberapa orang menghadap Musa dengan membawa seekor babi yang berkalung pita hitam. Kemudian Nabi Musa berdoa kepada Allah; ”Ya Allah, kembalikan dia menjadi manusia kembali agar kami bisa mengetahui apa yang menjadi penyebabnya.” Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa: ”Jika pun saja engkau memintaku dengan doa yang pernah dimintakan Adam dan para nabi setelahnya, aku tak akan mengabulkanmu. Tapi, ketahuilah, kenapa aku ubah bentuk orang ini menjadi babi karena ia telah menjadikan agama sebagai bisnis.”
Terkait Kekuasaan
Rasulullah SAW bersabda: ”Kelak akan muncul pemimpin-peminpin yang kalian ketahui (kejahatannya, pent) dan kalian musuhi. Barangsiapa mengingkarinya maka ia lepas dari masalah. Barangsiapa membencinya maka ia selamat. Tapi, barangsiapa yang ridla dan mengikuti langkah pemimpin itu maka Allah akan menjauh darinya.” Para sahabat kemudian bertanya: ”Kenapa tidak kami bunuh saja pemimpin itu? ”Tidak, sepanjang ia masih salat.”
Rasulullah betrsabda: ”Ulama adalah orang-orang kepercayaan para rasul terhadap hamba Allah selama tidak bergaul (berpihak, pent) dengan para penguasa (sultan). Jika ulama telah berbuat demikian maka ia telah berkhianat kepada para rasul, maka hati-hatilah dan menjauhlah darinya.”
Imam Sufyan Tsauri berkata, bahwa di neraka ada neraka yang khusus dihuni para ulama (qurra) yang suka mendatangi penguasa.
Said bin Musayyab berkata: ”Jika kalian melihat ada ulama yang sering mendaatangi penguasa makata ketahuilah, dia pencuri.”
Sayyidina Umar RA berkata: :”Jika kalian melihat ulama yang sangat mencintai dunia maka prihatinlah atas agamamu, karena seseorang yang terjebak menyukai dunia maka ia akan terus bergelimang dengan dunia itu.”
Namun, bagaimana menjembataninya. Tentu, ulama bisa mendatangi para pemimpin dengan tujuan yang tulus bukan untuk meminta-minta dan dengan diundang. Yang dilarang di sini adalah meminta kepada penguasa fasilitas dan lain sebagainya dan kemudian mempersembahkan puja-puji serta menjual ayat dan fatwa untuk menyenangkan penguasa. Jika kedatangannya untuk memberi nasihat kepada penguasa agar kembali ke jalan yang benar, maka hal tersebut dibenarkan.
Hanya, sebaiknya, bukan penguasa yang minta dikunjungi ulama. Sebaliknya, penguasalah yang suka mendatangi ulama. Sebab, Rasulullah bersabda: ”Seburuk ulama adalah yang mereka suka mendatangi penguasa. Sebaik penguasa adalah mereka yang suka mendatangi ulama.”
Hadanallah wa iyyakum ajma’in
Musthafa Helmy
No comments:
Post a Comment